Giat Advokasi Perlindungan Buruh Migran
Perjalanan hidup Abdul Haki terbilang berliku. Sempat menjadi buruh migran di Arab Saudi, ia juga sempat menjadi makelar atau perekrut TKI. Merasa punya beban mental, Haki lantas berhenti dari profesinya dan berwirausaha. Saat ini, Haki menjadi Kepala Desa Sumbersalak, dan aktif dalam ikhtiar memutus lingkaran setan mafia buruh migran.
ADI FAIXIN, Ledokombo
"HUJAN emas di negeri orang, masih lebih enak hujan batu di negeri sendiri." Ungkapan itu yang selalu di sampaikan Haki kepada warganya, termasuk kepada Jawa Pos Radar Jember, ketika ditanya keuntungan bekerja sebagai buruh migran.
Perjalanan hidup Abdul Haki bisa dibilang penuh warna. Terdesak oleh himpitan ekonomi, pada 1997 Haki nekat meninggalkan kampung halamannya berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi buruh migran (istilah lamanya Tenaga Kerja Indonesia atau TKI).
Dari sinilah, awal mula perjalanan karier Haki di bidang buruh migran dimulai.
"Saat itu saya masih muda. Usia sekitar 28 tahun. saya awal mula bekerja di Mekah, Arab Saudi," tutur warga asli Dusun Paluombo, Desa Sumbersalak, Kecamatan Ledokombo, Jember ini. Dari bekerja di Mekah itulah, Haki bisa membeli rumah dan mobil di kampung halaman. Hasil yang diperoleh cukup signifikan, sebab dia berangkat bersama sang istri.
Toh bekerja di Kota Suci itu tidak lantas membuat Haki merasa betah. Dia hanya bertahan selama tiga tahun. Setelah merasa tabungannnya cukup, Haki memutuskan untuk pulang kampung. Namun, lagi-lagi karena kondisi perekonomian tak kunjung membaik, Haki hanya dua tahun bekerja di Jember.
"Waktu pulang pertama dari Arab Saudi, saya sempat bersumpah tidak akan kembali lagi ke sana. Tapi, karena kepepet ekonomi, ya tepaksa saya harus jadi TKI lagi," tutur Haki.
Tahun 2002, Haki kembali berangkat ke Arab Saudi sebagai buruh migran. "Saya berangkat lagi ke Arab Saudi setelah berhasil mengumpulkan uang sebanyak 6 juta," tutur Haki.
Pada keberangkatannya yang kedua, Haki bekerja di Buroidah, kota terbesar dan sekaligus ibu kota provinsi Al Qosim, yang ada di utara Arab Saudi. Namun, Haki hanya bertahan selama dua tahun di sana. "Kenang Bapak satu anak ini.
Seperti keberangkatannya yang pertama, kali ini Haki juga menggunakan jalur legal untuk berangkat ke negara yang memangku dua kota suci umat islam tersebut. Haki bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah keluarga yang cukup berada di Saudi.
Haki relatif beruntung, karena tidak mendapatkan kasus-kasus yang serius selama bekerja di Arab Saudi. Namun, tidak berarti mulus. Selama dua kali bekerja di Arab Saudi, Haki tidak selalu mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang tertuang di dalam kontrak perjanjian kerja.
"Kalau sudah bekerja di sana, kontrak kerja itu cuma formalitas. Tidak berlaku, karena banyak dilanggar. Kita tidak bisa menolak," jelas pria yang kini berusia 49 tahun ini.
Selama dua kali bekerja di Arab Saudi, Haki nyaris tidak pernah mendapatkan unag makan. Belum lagi soal jam kerja yang hampir pasti dilanggar, karena Haki harus bekerja melampaui jam kerja yang tertera di dalam kontrak.
"Saya tidak berani menuntut hak-hak saya, karena takut dipulangkan. Kata teman-teman yang sudah lama bekerja di sana, percuma mengadu kedutaan besar atau konjen Republik Indonesia. Karena yang ditangani di sana jauh lebih banyak dan kasusnya lebih serius dari sekedar pelanggaran hak pekerja,: tutur Haki.
Setelah kembali lagi ke Indonesia tahun 2004, Haki mengaku kapok untuk kerja lagi ke Arab Saudi. Salah satu yang paling mengesalkan bagi buruh migran seperti Haki adalah ketika gaji tidak di bayar atau terlambat di bayar hingga beberapa bulan. Dia menyesalkan hal seperti itu bisa dilakukan di negara yang mayoritas muslim seperti Arab Saudi.
"Padahal, mereka tahu hadis Nabi bahwa bayarlah upah pekerjamu sebelum keringatnya kering. Tpi ya tetap saja, hak-hak kita dilanggar," sesal Haki.
Sebenarnya, dikalangan buruh migran di Arab Saudi, ada istilah maktab istiqdam, sebutan untuk petugas perwakilan dari perusahaan pengerah jasa TKI (PJTKI) yang ditempatkan di kantong-kantong buruh migran asal Indonesia. Namun, keberadaan staf PJKTI tersebut tidak banyak membantu, malah kerap menyusahkan buruh migran Indonesia yang hendak mengadu. "Percuma mengadu ke mereka, karena mereka justru seringkali menjadi bagian dari mafianya," ungkap Haki.
Nasib buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi, munurut Haki, lebih buruk di bandingkan dengan yang dialami pekerja asal filipina. "Karena kalau Indonesia diurusi oleh swasta. Sedangkan buruh migran asli filipina diurusi langsung keberangkatan dan segala sesuatunya oleh pemerintah setempat, sehingga lebih terkontrol," jelas Haki.
Diakui Haki, selama ini terkadang ada anggapan salah yang berkembang di masyarakat, bahwa bekerja sebagai buruh migran akan mendatangkan jaminan kesejahteraan. ini karena selisih kurs mata uang Indonesia yang masih jauh dibandingkan di luar negeri.
"Sebenarnya, penghasilan dari buruh migran tidak jauh beda dengan kalu bekerja di Indonesia. Cuma karena terpaksa saja, tidak dapat pekerjaan di sini, makanya jadi TKI di luar," beber Haki.
Setelah pulang ke Desa Sumbersalak pada 2004, Hki memulai hidup baru dengan menjadi peternak ayam potong. Kali ini, peruntungannya lumayan berhasil. Selain menjadi peternak, Haki juga punya pekerjaan sampingan, yakni sebagai Petugas Lapangan (PL) yang mencari dan memberangkatkan warga untuk menjadi buruh migran ke luar negeri. Istilah lainnya adalah tekong atau makelar TKI.
"Sebenarnya saya tidak mencari, tetapi orang datang sendiri ke saya. Minta tolong diberangkatkan ke luar negeri untuk jadi buruh migra. Ya saya bantu sekalian," tutur Haki.
Pengalaman selama beberapa tahun menjadi buruh migran di Arab Saudi membuat Haki paham betul seluk-beluk keberangkatan untuk bekerja ke Timur Tengah. Oleh karena itu, sudah ratusan warga yang ia berangkatkan. meski mengantongi fee yang lumayan, namun jiwanya tak tenang.
"Saya punya beban moral, karena yang saya berangkatkan itu nyawa, bukan barang. Belum berangkat, sudah ditanya kapan berangkat. Sudah berangkat, masih ditanya, gimana kabarnya atau gajinya," kenang Haki.
Untuk mengurangi tekanan batinnya, Haki banyak menyisihkan sebagian pendapatan yang dia terima dari profesi tekong untuk kegiatan sosial. "Seperti nyumbang karpet masjid atau membantu janda atau yatim piatu yang membutuhkan," Kata haki.
Namun, tetap saja itu tidak membuat hatinya tenang. Puncaknya adalah ketika tahun 2013, Haki memutuskan untuk berhenti menjadi tekong. "Karena anak saya sering sakit kalu saya pergi ke Jakarta ngurus keberangkatan buruh migran. Tapi, setelah saya pulang, dia langsung sembuh. Dari situ, saya mulai berpikir, bahwa saya harus berhenti dari pekerjaan ini," tutur Haki.
Padahal, sejauh ini, dari ratusan buruh migran yang sudah diberangkatkan, belum ada satupun yang mengalami kasus serius. Salah seorang tetangganya yang ia berangkatkan ke Arab Saudi, bahkan berhasil menyekolahkan anaknya hingga sekarang bisa menjadi perawat. "Cuma saya takut apes saja, ada kasus gitu," tutur Haki.
Empat bulan setelah memutuskan berhenti dari profesi tekong, Haki terpilih menjadi Kepala Desa Sumbersalak. Berangkat dari pengalaman dan kegelisahannya akan buruh migran, membuat Haki tergerak menjadikan aspek advokasi perlindungan buruh migran sebagai salah satu program utamanya dalam memimpin desa.
"Sebenarnya, PJTKI itu kalau tidak ambil untung terlalu besar dari buruh migran, insyaallah buruh migran kita tidak akan terlalu sengsara. Biasanya, karena majikan sudah dipatok terlau mahal, maka mereka bisa berbuat sewenang-wenang terhadap pekerjanya," ungkap Haki.
Dalam menjalankan misinya, Haki banyak dibantu oleh komunitas Tanoker dan Migrant Care, dua Non-Government Organization (NGO) yang fokus pada upaya advokasi buruh migran. Atas bantuan Migrant Care misalnya, Sumbersalak terpilih sebagai satu dari 18 desa di indonesia sebagai desa peduli buruh migran atau Desbumi. Dirintis sejak 2013, peresmiannya dilakukan langsung oleh Menakertrans Hanif Dhakiri pada 2015.
Sebagai desa percontohan, Desbumi Sumbersalak fokus untuk menyediakan layanan tingkat pertama seta memberikan informasi komprehensif kepada calon buruh migran, serta menerima pengaduan dari keluarga TKI. Bahkan, saat buruh migran kembali ke desa juga harus disiapkan re-integrasi ekonomi dan pemberdayaan mereka.
Kiprah Haki tidak hanya dilingkup desa saja. Sepanjang akhir 2015, Haki turut aktif bersama beberapa elemen masyarakat lain untuk mengawasi revisi UU No.39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI. Bahkan, pada 17 Februari 2016, Haki turut diundang buruh migran lain, unruk mengikuti Rapat Dengsr Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, terkait revisi UU No.39/2004. Setelah melalui proses berliku, upaya itu akhirnya membuahkan hasil dengan disahkannya undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 18 Tahun 2017.
"UU yang lama kurang berpihak pada buruh migran, karena lebih menguntungkan dan memperkuat peran swasta," kritik Haki.
Di tingkat desa, meski berbagai upaya telah diikhtiarkan Haki, masih tetap saja ada kasus yang menimpa buruh migran asal Desa Sumbersalak. "Selama saya memimpin, total ada 3 warga saya yang meninggal. Semuanya buruh migran di malaysia," tutur Haki. Terbaru adalah meninggalnya saini, warga Desa Sumbersalak pada pertengahan Maret lalu, di Serawak Malaysia. Siani terbilang masih keponakan Haki. Atas kejadian itu, Haki merasa kecolongan.
"Mestinyna itu bisa diminimalisasi dengan memperkuat peran desa.Setidaknya untuk mencegah terjadinya kasus. Jadi pendataannya harus lebih lengkap," tutur Haki.
Dalam waktu dekat, Haki berencana untuk lebih memperluas akses informasi bagi masyarakat yang berminat untuk bekerja di luar negeri. Meski demikian, berdasarkan pengalaman pribadinya, ia tetap mengimbau warganya agar lebih baik bekerja dikampung sendiri ketimbang ke luar negeri. "Biar bagaimanapun, masih lebih enak kerja di desa daripada ke luar negeri. Saya sudah merasakan," pungkas Haki.
(ad/mgc/hdi)
SUMBER : JP-RJ 13 APRIL 2018