Minggu, 14 Oktober 2018

POJOK BRAILLE, FASILITAS MUSEUM HURUF YANG RAMAH DIFABEL

Karya Anak-Anak Tunanetra Juga Harus Diapresiasi Lewat Buku

Museum tidak hanya bisa dinikmati oleh orang-orang biasa, tetapi juga anak-anak tunanetra. Ini yang mendasari diresmikannya pojok Braille, salah satu fasilitas yang disediakan di Museum Huruf Jember. Seluruh koleksi aksara yang ditampilkan di sana diterjemahkan ke dalam aksara Braille.


LINTANG ANIS BENA K, Jember KOta

Halaman depan Museum Huruf Jember tampak lebih ramai, sabtu pekan lalu. Riuh oleh kehadiran para siswa dariSLB yang sengaja diundang untuk mengenal lebih jauh koleksi replika aksara-aksara yang ada di dalamnya. Namun, hampir seluruh pengunjung kali ini merupakan penyandang disabilitas, tepatnya tunanetra.

Para siswa berseragam cokelat ini tampak antusias kala memasuki ruang koleksi aksara.

Didampingi pemandu dan gurunya, mereka mendengarkan dengan cermat seluruh penjelasan mengenai sejarah dan ragam jenis huruf yang ditampilkan di sana. Untuk membantu visualisasi, pengelola mengizinkan mereka menyentuh langsung replikanya.

Ada sedikit perbedaan di ruang koleksi replika aksara di Museum Huruf saat ini. Di samping setiap relik yang dipajang, terdapat sebuah buku terjemahan masing-masing koleksi. Jika dibuka, sepintas memang tidak tampak tinta apapun di dalamnya, namun berupa kertas dengan tonjolan kecil-kecil di dalamnya.

Inilah aksara Braille, salah satu fasilitas yang baru diliris oleh pengelola Museum Huruf. Koleksi tulisan Braille yang disajikan merupakan bentuk terjemahan dari seluruh penjelasan yang terpajang. "Bagi penyandang tunanetra yang ingin mengetahui sejarah dan penjelasan masing-masing aksara, selain dari pemandu, juga bisa dibaca lewat buku Braille ini," ujar Ade pernama, pemilik Museum Huruf Jember ini.

Menurut Ade, hadirnya aksara Braille ini menambah koleksi aksara yang ada di Museum Huruf. Selain itu, hal tersebut juga menyiratkan bahwa seluruh elemen masyarakat bisa dan berkesempatan untuk memanfaatkan ruang publik yang ada di sekitarnya, termasuk museum.

"Kami menganggap museum sebagai ruang publik harus bisa dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari platform kita sebagai pusat pendidikan yang setara, kami merasa ada yang kurang, mestinya kami juga bisa diakses siapa pun," terang pria yang tinggal di Probolinggo tersebut.

Gagasan ini, kata dia, sebenarnya sudah muncul sejak tahun lalu. Dirinya bersama relawan museum menjadi link yang bisa mentranformasikan seluruh aksara yang ada di museum ke dalam Braille. "Akhirnya, kita ketemu sama kelompok yang memang yang ahli dibidang Braille," imbuhnya. Selama kurang lebih dua minggu, seluruh koleksi bisa di terjemahkan ke aksara Braille.

Tak hanya menerjemahkan penjelasan ke aksara Braille, pihaknya juga menambah satu fasilitas  lagi yaitu pojok Braille. Di salah satu sisi ruangan tampak sebuah rak dengan koleksi buku-buku Braille yang bisa dibaca oleh pengunjung tunanetra. "Kawan-kawan yang difabel bisa masuk ke perpustakaan yang menyediakan pojok Braille untuk bisa ikut membaca," kata Ade.

Alasan Ade untuk mencetuskan Braille Corner ini tidak main-main. Selain ingin pandangan tunanetra bisa menikmati museum seperti masyarakat umum, dirinya juga ingin mengangkat literasi baca di kalangan dsabilitas dan mewadahi potensi difabel yang luar biasa.

"Berawal dari diskusi transformasi karya ke huruf Braille, kita menemukan fakta bahwa siswa dengan ketunaan sebenarnya memiliki banyak potensi dan koleksi seni, seperti cerpen dan puisi. Banyak siswa yang sering ikut lomba dan menang. Tetapi, selama ini hanya dihafal dikepala saja. Itu harus kita apresiasi dengan dibukukan," tegas Ade.

Apalagi, lanjut dia, koleksi buku Braille hanya terbatas pada buku baku dan pelajaran saja, tidak ada buku-buku jenis lain seperti novel dan puisi. "Mereka punya banyak karya sebenarnya. Kenapa tidak kita bukukan karya merka, misal bikin antologi puisi. Nanti kita buat dalam tulisan normal dan Braille," ujarnya.

Hal tersebut menjadi wadah bagi penyandang tunanetra untuk menyalurkan potensi yang mereka miliki. Sehingga, nantinya koleksi di pojok Braille tidak hanya terdiri dari buku baku saja, tetapi juga koleksi tulisan mereka sendiri. "Kami ingin mendorong kawan-kawan untuk lebih kuat di literasi," tegasnya.

Sementara itu, kepala SLB Branjangan Bintoro, Wahyono mengapresiasi hadirnya pojok Braille di Museum Huruf. Ini bisa membuat anak-anak penyandang tunanetra merasa diterima di masyarakat, serta menambah wawasan mereka.

Pihaknya kerap mengajak anak-anak melakukan kunjungan ke tempat-tempat umum seperti museum, dengan tujuan untuk mengenal lingkungan sekitar mereka. Ini bisa membuat mereka cepat beradaptasi apabila berada di tempat umum. "Kalau dia masuk ke sini otomatis bisa membaca dan melihat-lihat, serta belajar seperti orang normal," tandasnya.

Museum yang dibuka pada pertengahan Agustus lalu ini memang sedikit 'tersembunyi.' Jika dilihat dari luar, lokasii ini sama sekali tidak mencerminkan sebuah bangunan bersejarah, apalagi sebagai sebuah museum. Justru tempat yang berada di jalan Bengawan Solo ini lebih dikenal sebagai tempat nongkrong anak-anak muda.

Pemahaman mengenai aksara Nusantara ini juga menjadi salah satu program pengelola museum. Ade ingin mengajak generasi penerus untuk bisa membuka jendela melalui penulisan aksara. Banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui aksara apa saja yang ada di Indonesia.

"Ini yang agak kritis. Saat ini kita masih fokus ke punulisan aksara Nusantara. Kita masih punya banyak aksara di Indonesia  yang belum dipelajari dan diketahui, salah satunya ketika pengenalan aksara melalui kelas aksara Sunda," paparnya.

Sebagai seorang praktisi museum dan heritage, Ade mencari keunikan-keunikan dan nilai jual yang bisa dia sajikan kepada masyarakat Jember dan sekitarnya. Apalagi, lokasinya cukup strategis, berada di wilayah akademis. "Bisa memberi warna untuk pendidikan di Jember," pungkasnya. (lin/mgc/hdi)

SUMBER : JP-RJ 11 APRIL 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KREATIFITAS WARGA DESA SIDOMEKAR UBAH PASAR KUMUH JADI MURAL

Ini Strategi Untuk Memikat Pembeli Datang ke Sini Awalnya, hanya sebuah pasar Krempyeng yang kumuh di dalam gang. namun, sejak April pem...