Kamis, 13 Desember 2018

YENIS PRATIWI, IBU RUMAH TANGGA YANG BERDAYAKAN WARGA SEKITAR

Optimalkan Barang Bekas Jadi Desain Interior yang Cantik

Usaha yang tujuannya baik akan berdampak baik. Konsep inilah yang dikembangkan Yenis Pratiwi. Ibu rumah tangga ini mampu menyerap tenaga kerja orang kampung dan mampu menyulap botol miras bekas jadi desain interior.

WAWAN DWI SISWANTO, Sumbersari

MENCARI kediaman Yenis Pratiwi kini semakin mudah. jika sulu pernah mengontrak di kawasan Sumber Alam, berlanjut masuk dari blok ke blok perumahan. saat ini rumahnya tepat di jalan utama Perum Puri Bunga Nirwana, sumbersari.

Berawal dari kontrak dengan suaminya untuk berhenti kerja, Yenis tetap punya konsep bagaimana perempuan ini tetap berdaya dengan tugas utamanya segabai ibu rumah tangga. jalan usaha ynag dikerjakan di rumah itulah pilihannya.

Punya saudara berprofesi perias dan melihat kondisi anak tetangga, anak yang carut-marut dan tidak meneruskan sekolah, dia ingin memperkerjakannya.

Salah satunya, usaha yang menyerap tenaga kerja rumahan, seperti suvenir pernikahan. "Awalnya ya ibunya dulu jadi pembantu. kemudian, anaknya mulai mau membantu kerja buat suvenir," ungkapnya.

Setelah pindah dari perum Sumber Alam ke Puri Bunga Nirwana, hati Yenis kembali terketuk. kampung yang dekat perumahan itu masih banyak pernikahan dini. "ini masih kota dan dekat kampus. anak-anak perempuan di perkampungan masih banyak yang nikah usia dini.umur 14 tahun atau lulus SD masih ada yang dinikahkan," imbuhnya.

Memakai metode mencari pembantu dari perkampungan dan selanjutnya mempekerjakan pemuda setempat dilakukan lagi. Yenis mengaku, pernikahan usia dini harus diminimalisasi. dia yang menikah di usia 23 tahun saja banyak gelombang yang harus dilalui.

"Nikah itu tidak hanya membuat anank saja. tetapi bagaimana membangun keluarga dan mendidik anak nanti seperti apa," ujarnya.

Pernikahan usia dini secara medis juga tak dianjurkan. sehingga, menurutnya, cara untuk membuat perempuan usia dini tak segera menikah adalah membuat lapangan pekerjaan. "Mengubah pola pikir masyarakat agar tak menikahkan anak usia dini ini sulit. caranya lewat mempekerjakan mereka," katanya.

Walau niat baik untuk meredam pernikahan dini belum tentu diterima oleh masyarakat. Yenis diterima oleh masyarakat. Yenis pernah dibenci karena dianggap orang yang menghalangi nikah.
"Ya sering kali karyawan itu lari ke sini, tidak ingin nikah cepat-cepat," katanya. cara agar tidak dibenci, tambah dia, sering main ke rumah karyawan. "kalau nggak ada kerjaan, main kerumah karyawan," tambahnya.

Menurut Yenis, perempuan semakin berdaya membuat mereka berpikir luas dan membuat laki-laki luluh. perempuan yang membuka usaha bernama Inez Galeri ini juga menyerap karyawan dari anak jalanan dan suka mabuk. tetapi, mereka membaik. perempuan dua nak ini mengaku mulai merambah bisnis desain interior rumah. inspirasinya tak lain dari pegawainya.

Memanfaatkan limbah potongan kayu yang melimpah dari perkampungan menjadi tulisan pernah-pernik hiasan dinding. Paling menarik adalah memanfaatkan botol miras dan gelas tak layak pakai desain decopage.

Botol miras yang selama ini hanya dipakai untukpenjual bensin eceran, disulap Yenis jadi barang hiasan istimewa. memakai metode deco page, yakni tisu bergambar yang ditempel ke botol dan selanjutnya di lem membuat nilai seni berbeda. harga botol yang hanya ratusan rupiah, lewat sentuhan Yenis bisa capai ratusan ribu.

Tak jarang, gelas-gelas yang tak terpakai oleh tetangga bisa diberi sentuhan deco page jadi barang yang sayang untuk dibuang. usaha perempuan asal Banyuwangi ini membuktikan bahwa ibu rumah tangga bisa berkarya. bisa jadi perempuan berdaya untuk suami dan keluarganya. (dwi/mgc/hdi)

SUMBER : JP-RJ 20 MEI 2018

ADAM BADRA CAHAYA, AREK JEMBER YANG RAIH DOKTOR FISIKA DI USIA 28 TAHUN

Pulang, Siap Tinggalkan Kenyamanan di Jepang

Tahun 2008, namanya sempat mengejutkan karena menyabet medali emas dalam olimpiade fisika tingkat dunia. Kini,satu dasawarsa berselang, Adam Badra Cahaya kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun merantau di Jepang untuk menempuh studi dari S1 hingga S3, dalam bidang Fisika murni. Alumnus SMAN 1 Jember ini tak ragu  meninggalkan kenyamanan hidup di Negeri Sakura.

ADI FAIZIN, Patrang

BEBERAPA minggu sejak tinggal di Indonesia, Adam Badra Cahaya melakoni aktivitas sebagaimana layaknya orang asing yang baru tinggal di tanah air. Seperti mengurus SIM yang sudah mati beberapa tahun lalu. "Kemarin saya tes tulis, lulus. Tapi, pas praktik mobil, tiga kali gagal. brgitu SIM C, juga ngulang.

Sampai tiga kali," tutur Adam sembari tersenyum. SIM Adam SIM C yang dimiliki Adam memang sudah mati sejak 2016 lalu. Kesibukan menjalani studi di Jepang membuatnya tidak sempat untuk mengurus perpanjangan SIM tersebut di Jember.

Sepuluh tahun lalu, nama Adam sempat menyita perhatian masyarakat. Saat itu, dalam olimpiade fisika tingkat dunia yang digelar di Kazakhstan, Adam meraih medali emas. Kemenangannya sempat mengundang kontroversi, pasalnya saat itu ia baru saja lulus dari SMAN 1 Jember. sebelumnya, Adam juga meraih medali emas dalam olimpiade fisika tingkat Asia yang digelar di Mongolia, namun saat itu ia masih berstatus sebagai pelajar SMAN 1 Jember. "Saat itu, saya bisa ikut karena belum menjadi mahasiswa," tutur Adam saat ditemui jawa pos Radar Jember di rumahnya, dikawasan perumnas patrang.

Fisika murni memang menjadi kecintaan Adam sejak lama. Meski di Indonesia Ilmu murni dianggap tidak menarik untuk ditekuni, tak menyurutkan semangat Adam untuk menggelutinya. Tak heran, jika setelah meraih medali emas dalam olimpiade Fisika Dunia, Adam memantapkan diri untuk mengambil jurusan fisika murni. "Meski juara olimpiade fisika internasional, tapi tidak jaminan langsung diterima di Universitas luar. saya tetap tes seperti yang lainnya," ungkap pria kelahiran 3 April 1990 ini.

Adam sempat tes dan lulus di National Technology University (NTU), salah satu kampus terbaik dunia yang ada di Singapura. Namun, kesempatan itu tidak dia ambil karena tidak mendapat beasiswa. Target utamanya sejak SMA memang kuliah di jepang melalui beasiswa Monbukagakusho yang disediakan pemerintah Jepang.

Selain karena kualitas pendidikan. Faktor lain yang membuat Adam bertekat untuk kuliah ke Jepang adalah kecintaannya terhadap manga (dibaca mangga,red), sebutan untuk komik-komik Jepang. Hingga kini pun, Adam masih menyimpan koleksi manganya. "Di Jepang, pecinta manga tidak terbatas usia. banyak orang dewasa yang suka manga. di sana juga tidak surut trennya," ujar pria yang semasa SMA aktif di pencak silat Merpati Putih ini.

Adam akhirnya mulai merantau di Jepang sejak tahun 2008. namun,, dia tidak langsung kuliah, melainkan harus menjalani kursus intensif bahasa dan budaya Jepang selama setahun di Center for Japanese Language and Culture, Universitas Osaka. Saat itu, ia minim kemampuan berbahasa jepang. "Setelah dites akhir, saya peringkat nomor dua dari bawah. Total ada 50 mahasiswa dari berbagai negara. Untungnya, Tohoku tidak terlalu ribet mensyaratkan kemampuan bahasa Jepang," tutur Adam.

Dari Osaka, Adam akhirnya pindah ke Sendai untuk menjalani studi Fisika Murni di Universitas Tohoku. "Sendai ini sebenarnya bukan kota besar, mungkin seperti Jember, tapi lebih ramai sedikit lah. Sekitar 2 jam dari Tokyo kalau naik shinkanzen," jelas putra pasangan Prawoto dan Sulistyani ini.

Sempat kesulitan mempelajari bahasa Jepang, Adam memberanikan diri untuk banyak mempraktikkan bahasa Jepangnya. Antara lain dengan membantu komunikasi beberapa WNI yang baru tiba  di Sendai.

Ternyata, cara itu cukup manjur dalam meningkatkan kemampuan berbahasanya. "dapat setahun, saya ternyata bisa lulus tes bahasa jepang untuk orang asing dengan hasil yang bagus. ternyata, bahasa kalu dipaksa berkomunikasi, malah lebih bagus," ucap Adam.

Adam menempuh studi sarjana sejak tahun 2009 hinga 2013. Lulus sarjana, Adam langsung melanjutkan ke jenjang master hingga selesai tahun 2015. Dari tahun 2015 hingga 2018, Adam menempuh studi doktor.

Semuanya dalam bidang fisika murni di Universitas Tohoku. Disertasinya membahas tentang teknologi spintronic. teknologi ini antara lain bermanfaat untuk efisiensi teknologi penyimpanan data," jelas Adam.

Selama 10 tahun tinggal di Jepang, banyak pengalaman suka duka yang ia dapat. Dari Negeri Sakura pula, Adam bertemu Yuni Nurul Azizah, gadis asal bogor yang kemudian menjadi istrinya. sang istri juga menempuh sttudi master dan doktoral di Universitas Tohoku, dalam bidang ilmu hubungan internasional.

Dari Jepang pula, Adam berkesempatan menunaikan ibadah haji pata tahun 2013 bersama sang istri. "Karena kalu angkat dari Jepang kan enak, tidak usah antre kebetulan dapat diskon juga. pemilik travelnya orang mesir yang berbisnis di Jepang," tutur Adam.

Sejak pulang haji itulah, Adam mulai memanjangkan jenggotnya hingga saat ini. menariknya, Adam merasakan perbedaan cara pandang masyarakat antara di Indonesia dengan di Jepang, tentang jenggotnya. "Di Jepang, saya tidak terlalu ditanya orang tentang jenggot saya. Paling cuma apakah semua muslim wajib berjenggot? saya jawab tidak. Di sana juga sudah biasa orang berjenggot walau tidak semuanya muslim," jelas Adam.
Pengalaman berbeda dialami sejak Adam pulang ke Jember beberapa minggu terakhir, kebetulan, dia juga jarang pulang ke Jember. "Orang lebih banyak bertanya tentang jenggot saya ketimbang studi saya di Jepang," ujar Adam sembari tersenyum.
Sebagai minoritas muslim, Adam tidak merasakan diskriminasi selama tinggal di Jepang. bahkan, sejak tiga tahun terakhir Adam merasakan masyarakat di Sendai banyak yang mempresiasi dan ingin memahami agama Islam. "Tahun 2020 kan mereka jadi tuan rumah olimpiade. makanya, mereka mulai antisipasi kedatangan wisatawan muslim dengan banyak belajar tentang Islam," tuur sulung dari tiga bersaudara ini.

Salah satu wujud nyata dari apresiasi terhadap Islam di Jepang adalah dengan dibangunnya tempat salat atau musallah di beberapa fasilitas publik. "Saat itu, saya beri saran ke stafnya Wali Kota Sendai. Bandaranya kan sudah level internasional, masak tidak ada mesallanya. ternyata, tidak sampai 2 bulan setelah saya sampaikan, musalla itu sudah dibangun," kata Adam.

Selain kedisiplinan, birokrasi di Jepang diakui Adam sangat baik. tidak hanya  di pemerintahan, tapi juga di lingkungan kampus. "Aturan itu bisa ada kelonggaran,, sepanjang bukan untuk dilanggar. jadi memang kita tidak dipersulit," ucap Adam.

Oleh karena itulah, banyak diaspora Indonesia di Jepang yang ragu untuk pulang ke tanah air. Selain masalah kesenjangan kesejahteraan, banyak kakak kelas Adam yangmengeluhkan rumitnya birokrasi di Indonesia. "Di sana, dana riset melimpah dan prosedurnya tidak rumit. sehingga, akademisi bisa lebih fokus mengurusi riset dan mengajar," tutur adam.

Meski demikian, sedari awal adam sudah mantap untuk pulang ke Indonesia setelah merampungkan studinya. terlebih, ia menilai, selama beberapa tahun terakhir, pemerintah juga mulai memberikan perhatian lebih untuk dunia riset dan pendidikan tinggi. "saya tidak takut untuk pulang ke Indonesia, karena ibu saya kan dosen di FKG Unej. jasi, saya paham lah, gaji dosen setidaknya masih cukup untuk makan," pungkas Adam sembari tersenyum. (mgc/ras)

SUMBER : JP-RJ 19 MEI 2018

Rabu, 12 Desember 2018

KISAH KIPTIYAH, TKI YANG 28 TAHUN "HILANG" DI ARAB SAUDI

Di Kampung, Sudah Dislamati sampai Seribu Harinya

Tak bermaksud mendahului takdir. Namun, karena putus asa, keluarga Jumanti Kiptiyah akhirnya menganggap perempuan yang jadi TKW itu sudah meninggal. Namun kisah sedih itu berbalik ketika akhirnya didapat kepastian itu nyata-nyata hadir di tengah keluarga. Seperti apa kisahnya ?

JUMAI, Tempurejo

HARI masih pagi. sekitar pukul 08:00. rumah Saiful Hadi terlihat lebih ramai dari biasanya. Beberapa tamu terlihat hilir mudik di rumah yang ada di Dusun Krajan RT 1 RW 2, Desa/Kecamatan Tempurejo itu.

Tak sedang ada jabatan. tetapi, karena banyak tetangga yang penasaran dengan Jumiati Kiptiyah. Nenek 71 tahun itu kembali setelah sempat menghilang ke Arab Saudi sejak 28 tahun lalu.

Perempuan asli Dusun Krajan Timur, Desa Paleran, Kecamatan Umbulsari itu memang diminta tinggal di rumah Saiful Hadi, anak pertamanya, setelah berhasil kembali pulang ke tanah air. Semua anak-anaknya sepakat Kiptiyah tinggal disana untuk menghabiskan masa tuanya.

Memang, suasana pagi itu tak seramai malam ketika Kiptiyah baru datang, usai dijemput anak-anaknya di bandara Blimbingsari, Banyuwangi. tetapi, pagi itu sisa-sisa penasaran warga  masih terlihat. satu dua tetangga dan kerabat ingin melihat Kiptiyah dari dekat. ingin mendengar langsung kisahnya dari mulut perempuan yang berangkat menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke Arab pada 1990 ini.

Rona bahagia bercampur haru juga terlihat masih meliputi Kiptiyah dan anak-anaknya. kisahnya selama di Arab sering kali diulangnya. setiap ada yang menanyakan, Kiptiyah dengan sabar menjlentrehkan. Saiful Hadi terlihat selalu ada di samping ibundanya itu. dia seperti tak ingin jauh. bisa dimaklumi, sudah 28 tahun berpisah dengan ibundanya itu. dia juga termasuk anak yang paling sibuk mengurus kepulangan dan penjemputan ibundanya itu.

Meski terus terlihat rona bahagia, dia tak bisa menyembunyikan wajah kuyunya. "Saya nggak istirahat sama sekali, sejak menjemput di Blimbingsari, Selasa siang sampai sekarang (Rabu pagi, 16/5,red)," katanya.

Saiful mengaku sangat gembira dengan kehadiran kembali ibunya di tengah-tengah keluarga. Jujur, ketika itu, dia dan keluarga sebenarnya tak rela ibunya harus pergi menjadi TKI ke Arab Saudi. saat itu, dia masih 24 tahun. Namun, karena kondisi ekonomi keluarga, akhirnya keluarga pun memilih merelakan. "Ibu saya terpaksa pergi (ke Arab) meninggalkan alm Holil, Bapak, dan empat anak," jelasnya.

Kisah terpuruknya ekonomi keluarga itu memuncak ketika Kiptiyah bangkrut. sebelumnya, ibunya itu berjualan intan di Pasar Paleran, Kecamatan Umbulsari. Awalnya lancar-lancar saja. "Namun, karena banyak diutuangi orang saat itu, akhirnya usaha ibu ini bangkrut," ujarnya.

Kiptiyah pun akhirnya memutuskan menjadi TKI, dia berangkat melalui PT Afida Afia Duta Kebon Jeruk, Jakarta, Saiful Hadi menyebut, saat itu alamat yang ada di paspor memang bukan di Umbulsari. karena sesuatu hal, Kiptiyah menggunakan alamat Desa Dadapan RT 010 / RW 002, Kecamatan GRujukan, Kab.Bondowoso. perbedaan alamat di paspor itu pulalah yang sempat membuat pencarian Kiptiyah di Arab Saudi terkendala.

Awalnya, memang Kiptiyah masih berkomunikasi dengan keluarga, sekitar setahun. setelah itu, dia tak bisa berkomunikasi lagi. keluarga pun tak bisa melacak keberadaannya. Rupanya, Kiptiyah sudah pindah majikan. Tercatat, Kiptiyah 7 kali pindah majikan selama di saudi.

Keluarga terus berupaya melacak surat yan dikirimkan ke alamat majikan pertamanya tak pernah berbalas. Kiptiyah sendiri, rupanya juga kesulitan berkomunikasi dengan keluarganya. praktis, setahun setelah berada di Arab, komunikasi mereka putus total.

Karena putus asa, keluarga akhirnya menyimpulkan bahwa Kiptiyah sudah meninggal. sebab, dilacak kemana pun tak ada hasil. Termasuk ke PT yang memberangkatkannya. "Keluarga akhirnya menyimpulkan ibu sudah meninggal sekitar 2010 lalu," terang Saiful Hadi.

Selamatan untuk orang meninggal pun dilakukan keluarga itu. mulai dari tujuh hari, empat puluh hari, sampai peringatan seribu hari dilakukan. "Kami kirim doa sekaligus menghormati ibu yang kami anggap sudah meninggal," katanya.

Usai salat, Saiful dan adik-adiknya juga mengaku selalu kirim doa. selain sebagai wujud bakti kepada orang tua, mereka berharap doa itu bisa melapangkan kubur ibundanya.

Namun, perjalanan hidup orang memang tak ada yang tahu. Awal tahun kemarin, Saiful Hadi dan adik-adiknya mendapat kabar bahwa ibundanya masih hidup. Kabar itu beredar dari akun media sosial masyarakat di Jember. ada yang mengabarkan bahwa ada TKW yang mencari keluarganya di Jember setelah berpisah 28 tahun.

Sebelumnya, Kiptiyah memang bertemu dengan seorang TKW asal madura. kepada TKW itulah dia menceritakan kisahnya. termasuk ingin mencari keluarganya di Jember. Rupanya, oleh TKW itu, kabar tersebut disebar ke media sosial.

Menerima kabar itu, Saiful Hadi sempat ragu. "Melihat fotonya dan namanya memang sepertinya ibu saya, tapi alamatnya kok di Umbulsari," jelasnya.

Dia pun lantas mengingat-ingat, keluarganya dulu emang berasal dari sana. dia pun lantas mencoba mengejar informasi itu. "sebab, saya yakin. Kiptiyah di Paleran tidak ada lagi selain ibu," jelasnya.

Setengah tak percaya ketika pertama kali berkomunikasi dengan ibunya lewat HP. pun meski sudah difasilitasi lewat panggilan video. "Ya namanya sudah hampir 30 tahun pisah. Banyak perubahan dan benar-benar menglingi," kata Saiful Hadi.

Sosok Kiptiyah memang jauh berubah. selain wajahnya yang menua, dia sekarang berkerudung. Logat bicaranya juga tak sejelas dulu lagi. tak heran, ketika dijemput di bandara Blimbingsari, dia sempat tak mengenali anak-anaknya. pertama kali bertemu, Saiful Hadi,anak pertamanya itu, dia panggil kakak. Umi Lutfa, anak Keduanya, dia panggil Mbakyu. tak heran jika kali pertama bertemu setelah berpisah lama, ibu anak itu sempat canggung di tengah keharuan. "jangankan ibu, saya aja pangling meski sebelumnya sudah berkomunikasi lewat video call," kata Saiful.

Kiptiyah yang kini sudah memiliki tujuh cucu dan satu cicit ini mengaku, di Saudi dia terakhir bekerja merawat bayi. Dia mengaku selama di Saudi berkali-kali pindah  majikan. "Sekitar tuju kali pindah," katanya dengan bahasa yang patah-patah karena usia tua.

Dia mengaku beruntung selama bekerja selalu mendapat majikan yang baik. "Tidak pernah disiksa. Baik-baik orangnya," ucapnya.

KIptiyah ketika dikunjungi jawa pos Radar Jember, Rabu (16/50 lalu, masih terlihat bingung. Dikelilingi tetangga dan sanak saudaranya, pandangan matanya sering kali masih terlihat kosong dan bingung Dia juga belum mengenal anak-anaknya satu persatu dengan baik. apalagi cucu-cucunya.

Kini, keluarga itu merasa sangat bahagia. Kiptiyah mengaku tak menyangka jika akhirnya dia bisa kembali pulang dan bertemu anak-anaknya lagi. Berkali-kali dia mengucap syukur.

Lebih-lebih, gajinya selama 28 tahun bekerja di Saudi juga tidak hangus. "Saya titipkan ke majikan. kalau lagi butuh, diberi," katanya.

Selain itu, Kiptiyah juga mendapat bonus. Dia mendapat bantuan dari keluarga kerajaan Arab Saudi. "Uangnya kemarin langsung kami tukarkan dengan rupiah di Genteng, Banyuwangi," jelas Umi Lutfah, anak kedua Kiptiyah, dengan mata yang masih sembab.

Ya, selama dua hari Umi Lutfah berkali-kali harus menangis. Haru karena ibu yang disangkanya sudah meninggal itu ternyata kembali ke tengah-tengah keluarga dengan kondisi sehat. (mgc/ras) 

SUMBER : JP-RJ 18 MEI 2018

Selasa, 11 Desember 2018

SMA NURIS RAIH 6 PRESTASI TINGKAT NASIONAL SELAMA 2018

Temukan Solusi Literasi, Raih Juara Dua KTI Nasional

Pelajar SMA Nuris terus membuktikan kemampuannya di tingkat nasional. Mereka mampu bersaing dengan sekolah negeri ternama. Terbaru, karya tulis ilmiah tentang solusi literasi bagi anak-anak meraih juara dua lomba KTI di Unner Malang.

BAGUS SUPRIADI, Sumbersari.

DELEGRASI dari SMA Nuris saat mengikuti lomba karya tulis ilmiah (KTI) tingkat nasional di Universitas Merdeka Malang membanggakan. Selain meraih juara dua, mereka juga meraih best presentation. juara satu diraih oleh SMAN 1 Malang.

Tiga pelajar itu adalah Sukmal Insan Rohmatullah, Lailatul Muhafidah, dan lailatul Karomah. Mereka merupakan pelajar kelas XI IPA 1 dan 25MA Nuris. Mereka memang memiliki ketertarikan dengan karya tulis ilmiah, sehingga selalu melakukan percobaan.

Karya tulis yang diikutkan lomba itu berjudul Menuju Indonesia yang Lebih Baik Melalui Langkah dan Raih (LDR) guna Meningkatkan Minat Baca Anak di Desa Bintoro.

Karya ilmiah itu membuat juri tertarik. "Kami hanya kalah karena tidak membawa alat praktik," kata Lailatul Muhafidah.

Menurutnya, penelitian itu dilakukan di Desa Bintoro Kecamatan Patrang. Mereka datang ke sana untuk melihat tingkat literasi anak-anak. Berkeliling dan melakukan wawancara. Ternyata, tak mudah membuat anak agar cepat bisa membaca dan menulis.

Selama sehari di Bintoro,tiga pelajar itu menemukan ide untuk mencarikan solusi agar anak-anak suka membaca. Yakni membentuk metode LDR, permainan anak-anak mencari huruf-huruf yang disembunyikan. "Jadi, metode itu yang kami tulis," ujarnya.

Mereka pun menuliskannya dalam bentuk ilmiah. Merumuskan masalah, mencari kajian pustaka, dan lainnya. Setelah itu, mereka mengirimkan abstrak yang dibuat kepada panitia. Ternyata lolos dan harus presentasi di Malang, bersaing dengan peserta lainnya ditingkat nasional.

Saat presentasi, tiga pelajar itu mampu menerangkan hasil penelitian dengan fasih. sayangnya, mereka tidak membawa alat peraga hasil penelitian. Akhirnya, mereka kalah karena peserta SMAN 1 Malang membawa alat peraga. "Kami tidak membawa, hanya memperlihatkan vidio," paparnya.

Selain juara dua, siswa SMA Nuris juga meraih presentasi terbaik. Mereka adalah Anisa Sakinah, Widi Astutik, dan Dian Ayu Wahidah. Judul KTI yang dipresentasikan adalah Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong Menjadi Gula Cair Guba Meningkatkan Perekonomian di Kabupaten Jember.

Presentasi yang diraih oleh pelajar SMA Nuris bukan hanya itu. Selama tahun 2018, mereka sudah meraih enam piala tingkat nasional. Kemudian, 16 penghargaan tingkat provinsi, delapan piala tingkat  eks Karasidenan Besuki, dan 16 piala tingkat Kabupaten. "Total ada 46 piala selama tahun 2018," kata Kepala SMA Nuris Gus Robith Qosidi LC.

Presentasi itu dari berbagai bidang, mulai dari bidang sains, agama, bahasa, dan lainnya. Seperti juara satu lomba esai tingkat nasional di Universitas Gadjah Mada (UGM). Juara dua lomba Robotika Line Follower tingkat nasional di Universitas Brawijaya. Juara tiga olimpiade biologi tingkat Jawa Timur-Bali di Universitas Jember.

Bahkan, dalam olimpiade akuntansi, mampu meraih juara dua tingkat eks karesidenan Besuki di IAIN Jember. Di bidang tulis menulis, para siswa juga meraih juara satu menulis puisi. Selain itu, juga meraih juara satu OSK Kimia tingkat kabupaten di SMAN 1 Jember.

Tak hanya itu, di bidang bahasa, siswa SMA Nuris juga meraih berbagai prestasi yang membanggakan. Juara dua pidato bahasa inggris tingkat kabupaten. Beberapa dari siswanya yang aktif di ekskul sains TOEFL juga mengikuti tes TOEFL.

Ada Utari Isni Aryida Fitri yang meraih nilai TOEFL 527. Lalu, Nais Septia Ningrum meraih nilai 520. Mereka yang berhasil meraih nilai TOEFL tingkat itu mendapat penghargaan dari SMA Nuris memperdalam bahasa Inggris di Kampung Inggris, Pare, Kediri.

Prestasi yang diraih oleh para pelajar itu merupakan upaya SMA Nuris untuk mengembangkan bakat siswanya. Mereka dilatih secara profesional. Siswa yang suka dengan ilmu sains, memilih tinggal dikamar sains. Suka di bidang ekonomi, memilih fokus mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. (gus/mgc/hdi)

SUMBER: JP-RJ 17 MEI 2018

Senin, 10 Desember 2018

REZANDRA, MANTAN PEMAIN JEMBER YANG MELATIH KLUB PAPAN ATAS INDIA

Terapkan Latihan Keras dan Ketat untuk Mencetak Pemain Andal

Lama tak terdengar, ternyata Rezandra Putra Hardita jadi pelatih utama di Shinning Star Academy, New Delhi India. Ini adalah salah satu klub papan atas India, yang banyak menelurkan pemain muda berbakat.

HADI SUMARSONO, Jember Kota

ERA 2005 silam, adalah era emas bagi Rezandra Putra Hardita. Sebagai pemain muda junior, saat itu dia sukses menembus persaingan ketat bulutangkis nasional.

Reza, pemain asli Jember ini matang ketika pada tahun 2000 hijrah ke salah satu klub papan atas Indonesia, PB Djarum Kudus. Di sinilah, dia malang melintang di satu kejuaraan ke juaraan lain. Tak hanya level nasional Indonesia, namun juga sering tampil di level internasional.

Puncaknya adalah ketika pada 2009 silam, sukses merebut juara ASEAN University, yang berlangsung di Malaysia. "Tapi itu dulu. Sekarang saya sudah gantung raket.

Saya fokus sebagai pelatih saja," ucap Reza, kemarin malam.

Sejak 2010 karir pemain Reza memang lagi turun pamor. Penyebabnya, saat tampil di kejuaraan internasional Challenge di Surabaya (kalender rutin WBF) dia mengalami cedera lutut yang lumayan parah. Berbagai terapi sudah dicobanya. Namun tak kunjung sembuh.

Lambat tapi pasti, dia pun mundur dari dunia bulutangkis profesional. Dia keluar dari PB Djarum Kudus, kembali ke Jember. "Di kampung (Jember, red) tetap latihan. Tapi hanya sekadar jaga stamina saja. Emang hobi," jelasnya.

Sambil mengisi waktu pria kelahiran 11 Januari 1989 ini juga mencoba meniti karir sebagai pelatih. Dia pernah jadi sparring partner tim peru (Peru Badminton Association), kemudian Guatemala, Badminton Club Osaka Jepang, dan terakhir ikut melatih tim junior Putra Suryanaga Jember.

Dan tiba-tiba, pada 2015 lalu mantan pemain yang tinggal di Perun Puri Bunga Nirwana Sumbersari Jember ini di hibungi oleh Akhay Dewalkar, untuk melatih India. "Akhsay Dewalkar adalah teman dekat saya waktu sama-sama aktif latihan di PB Djarum Kudus. Kami juga sering ketemu di turnamen internasional," jelasnya.

Kedekatan inilah, yang membuat Reza mantap terbang ke India untuk menukarkan ilmunya. Selama setahun, dia melatih D'Academy Badminton, New Delhi. Kemudian pada tahun 2016 dapat tawaran melatih di Shinning Star Academy, juga di New Delhi.

"Sampai sekarang masih melatih Shinning Star Academy. Sebagai pelatih utama. Saya pegang single Usia 17-19 tahun," jelasnya.

Di Klub ini namanya mulai dikenal. Apalagi Shinning Star Academy adalah akademi bulutangkis terbesar kedua di India, setelah Ghopican Academy. Di sinilah, TC timnas junior India digembleng. "Kalau timnas senior kayak Srikanh Kidambi dan PV Shindu, latihannya di Ghopican Academy," jelasnya.

Reza menyebut, pola latihan di Jember dengan India berbeda. Terutama soal hari. Di India, latihan hari selasa hingga minggu. Justru Senin Libur. Sehari juga latihan tiga kali. Pagi jam 05.00-07.30. Kemudian siang jam 11.00-14.00, disusul malam jam 18.00-20.30. "Semua pemain disiplin. Jarang absen," jelasnya.

Di klub ini, total ada enam pelatih, termasuk dua asisten. Tiga diantaranya dari Indonesia. Yakni Viki Indra Okvana (pegang double), Veronika Pratama dan Maya Dewi (pegang usia 15 tahun). "saya sendiri pegang sennnnnior (U-17 sampai U19 tahun)," tambahnya. Lewat tangan dinginya, sudah banyak anak asuhnya yang jadi juara, baik di level India maupun internasional junior.

Sikap profesional benar-benar diterapkan di India. Tak heran, belakang muncul pemain-pemain dunia asal India karena pola latihan yang keras dan benar seperti itu.

Reza menyebut, beru dapat liburan tiap enam bulan sekali. Sebagai pelatih, dia juga berhak atas apartemen, sampai transportasi. "Soal kebutuhan, semua tercukupi. Cuma satu yang susah, soal makanan," selorohnya. Untuk mengakali hal itu, dia terpaksa memasak sendiri di apartemennya.

Pemain Jember sendiri, menurut Reza, sebenarnya banyak bibit-bibit muda potensial. Namun, sikap mental sepertinya harus jadi perhatian utama untuk mencetak seorang pemain tangguh.

"Sekarang ini, kayaknya banyak atlet yang gampang menyerah. kasarannya nggak mau soro. Badminton tidak bisa dihasilkan secara instan. Jadi jangan gampang menyerah dengan keadaan," pungkasnya. (hdi)

SUMBER : JP-RJ 16 MEI 2018

Minggu, 09 Desember 2018

PUJASERA TRADISIONAL SEMANGGI, AMAL USAHA KEMANDIRIAN EKONOMI WARGA

Dibangun Bareng, Hasilnya pun bisa Dinikmati Bareng

Hidup di tengah lingkungan pertokoan bukan berarti tak bisa kompak antarwarganya. Buktinya,  mereka yang tinggal di RW 27, Kelurahan/kecamatan Sumbersari, bisa bergotong royong membangun usaha bersama, berkonsep pujaserta tradisional. seperti apa?

RULLY EFENDI, Jember kota

NAMANYA Pujaserta Tradisional Semanggi. Supaya lebih mudah diingat, mereka menyebut warungnya dengan nama Putra Semanggi. Putra tak lain akronim dari pujasetra tradisional. Sedangkan Semanggi, mengadopsi nama jembatan yang ada disekitar wilayahnya.

Secara fisik, tak ada yang berbeda dengan tempat tongkrongan lain. Terlebih di sekitaran kampus. Pun demikian dengan sajian makanannya. Tidak jauh berbeda. Hanya saja, menu yang dijual beberapa ada yang tradisional. Mulai dari minuman, makanan ringan, hingga nasi jagung yang jadi andalannya.

Namun, di luar itu ada yang menarik di pujasera yang ada di tengah perkampungan RW 27 Kelurahan/Kecamatan Sumbersari tersebut. Semua pengelolanya warga setempat. Mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, hingga remaja kampung, berbaur membangun amal usaha. Tentu, untuk kemandirian ekonomi warga setempat.

Sebelum dibangun pusat jajanan rakyat, tempat usaha itu tak lain bekas lapangan bulu tangkis. Namun, tidak pernah dimanfaatkan lagi, sehingga kotor dan tidak terawat. "Kemudian kita manfaatkan untuk pujasera, Ritop Sukoco.

Rencana pembangunan pujasera rupanya disambut donatur yang tak lain warga setempat. Dia menyanggupi pembiayaan pendirian bangunan pujasera. Namun, semangatnya tetap gotong royong. Sehingga, tak heran, tukang bangunannya pun tidak mereka bayar, karena bagian dari warganya.

Kompensasinya, mereka yang aktif ikut berpartisipasi mendirikan pujasera diperbolehkan menitipkan makanan dagangannya. Namun, tetap ada pembagian hasil. Meski persentasenya tidak banyak. Sebab, dari pembagian hasil tersebut, dana yang terhimpun digunakan lagi untuk operasional pujasera.

Ternyata bukan hanya selesai di sana. Pendapatan pujasera juga disiapkan untuk kas lingkungan. Agar ada support anggaran saat ada kegiatan di lingkungan mereka. Sehingga, seperti tujuan awal, warga di RW pitu likur bisa benar-benar mandiri.

Supaya lebih kental dengan nuansa tradisional, pengelola memasang beberapa kata-kata kuno yang mengandung nilai filosofi tinggi. seperti Jarkoni: Iso Ujar Iso Ngelakoni (Bisa Bicara, tapi tidak bisa melakukannya).

Beberapa bahasa yang dulunya lazim digunakan masyarakat juga dipasang di pujasera tersebut. Seperti jedeng yang artinya toilet. Kata-kata kuno seperti itu sengaja dipasang, tak lain untuk melestarikan  tradisi lawas. "Selain itu, untuk  menyampaikan pesan moral," ujar Ritop.

Pujasera itu tergolong masih "perawan". Sebab, baru Minggu (13/5) malam resmi dibuka. Namun yang pasti, meski memilih konsep tradisional, fasilitas seperti free wifi juga tersedia untuk menyaingi tawaran warung lain yang jadi kompetitornya. (rul/mgc/hdi)

SUMBER : JP-RJ 15 MEI 2018

KREATIFITAS WARGA DESA SIDOMEKAR UBAH PASAR KUMUH JADI MURAL

Ini Strategi Untuk Memikat Pembeli Datang ke Sini Awalnya, hanya sebuah pasar Krempyeng yang kumuh di dalam gang. namun, sejak April pem...