Minggu, 13 Januari 2019

PERJALANAN BERLIKU DARI JURNALIS HINGGA RAIH GELAR DOKTOR

Bela Wajah Pesantren, Teliti Isu Terorisme di Media Siber.

Berkat penelitiannya tentang isu Terorisme dan Radikalisme Terhadap Pondok Pesantren, Kun Wazis, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Jember meraih gelar doktor Ilmu Komunikasi dari fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Alumni wartawan Jawa Pos Radar Jember 1999-2009 ini memiliki kisah menarik dari perjalannya sebagai jurnalis hingga menempuh gelar tertinggi akademik di perguruan tinggi ini. seperti apa?

KUN WAZIS, Bandung

"SAYA setujui kalau doktor yang ditempuh sesuai dengan kebutuhan kampus. Mumpung , ada program 5000 Doktor Kementrian Agama RI, itu bisa dicoba, bisa berkompetisi dulu." itulah kenangan saya berdiskusi dengan Rektor IAIN Jember Prof. Dr H. Babun Suharto, S.E., M.M., pada awal Januari 2015 silam. berbekal rekomendasi Rektor yang pernah menjadi ketua PC GP Ansor Jember ini, saya mengisi pendaftaran online program Mora2015 Dirjen Pendis Kemenag dengan meng-klik pilihan program S3 Ilmu Komunikasi Unpad. Waktu itu, tercatat di web scholarship. kemenag. co.id tertanggal 09-04-2015.
alhamdulillah, hasil tes yang diselenggarakan tim Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, saya dinyatakan lulus.

Melalui beasiswa yang berlaku 6 semester ini, sejak awal kuliah saya bertekad untuk selesai tepat waktu, jangan sampai motor. saya belajar banyak dari pada doktor di IAIN Jember yang memiliki beragam pengalaman menyelesaikan studi. agar memudahkan target, bersama teman-teman satu angkatan mengontrak rumah di kawasan Caringin Regency Jatinangor yang dijadikan sebagai tempat diskusi. diskusi itu memudahkan para mahasiswa S3 menajamkan isu yang akan dipilih jadi riset disertasi, biar tidak gampang mandeg nalar kritisnya.

Selain membangun dialektika dengan komunitas seangkatan, komunikasi dengan dosen pengajar dijaga dengan baik dengan cukup kental di Unpad. Kegiatan seminar nasional maupun internasional diikuti untuk menambah wawasan keilmuan dan relasi. proses akademik, mulai dari perkuliahan, ujina prakualifikasi, seminar usulan penelitian, Ujian Naskah Disertai, hingga Ujian Disertai saya jalani dengan enjoy. memahami perbedaan budaya menjadi sangat penting agar kita tidak salah dalam berkomunikasi, agar kita tidak salah dalam berkomunikasi, agar tidak terjadi noise (gangguan,red) yang berdampak pada ketegangan antar kita dengan orang lain.

Setelah menjalani proses akademik yang berliku, saya berhasil mempertahankan disetasi berjudul "Relasi Media Massa dalam Konstruksi Realitas Pondok Pesantren di Indonesia (Analisis Wacana Kritis tentang Isu Terorisme dan Radikalisme terhadap Pondok Pesantren pada Media Siber Jawa Pos.Com, Kompas.cpm, dan Republika.co.id)" pada sidang promosi doktor, Kamis 24 Mei 2018 lalu. "Ya, semunya dijalani, dinikmati, nanti juga selesai." begitu pesan Prof. Babun kepada saya.

Semangat berusaha keras menyelesaikan studi S3 ini tidak lepas dari pembentukan karakter pada diri saya sejak lama. Terutama didikan kedua orang tua saya, H Roqib (alm) dan Hj Siti Marchamah. Ayah saya adalah santri Pondok Tremas Pacitan Jawa Timur yang menghabiskan hidupnya di Pondok sepuh itu sebagai guru fikih. dalam berbagai pengajian dna kegaitan pondok, saya dikenalkan semangat keikhlasan, keistiqamahan, dan kemandirian sebagai karakter santri. untuk itu, meski mata kuliah yang saya ajarkan komunikasi massa, tetap saja saya melihat bagaimana wajah pondok pesantren di konstruksikan oleh media. saya tergelitik kritis, karena tesis saya sejak awal mengatakan tidak mungkin pesantren sebagai lembaga pendidikan ajaran islam yang rahmatan lil alamin, kok mengusung ajaran terorisme dan radikalisme.

Soal tekad, kehidupan jurnalis yang pernah saya jalani ikut mewarnai sikap saya. sebab, pilihan berkarir sebagai jurnalis di Jawa Pos Radar Jember sejak 1999 silam, terinspirasi oleh kehebatan jurnalis dalam mengungkap realitas yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. berkat berita yang kritis, suatu kejahatan bisa dibongkar dan masyarakat bisa menjadi lebih waspada. hikmahnya, tulisan atau berita bisa mendatangkan manfaat yang besar bagi banyak orang yang membacanya.

Hanya saja, menulis bukan pekerjaan gampang. sebagai jurnalis selalu dituntut berfikir keras mencari isu yang menarik, terjun ke lapangan menggali sumber berita yang berimbang, wawancara dengan informan secara mendalam , dan menarasikan peristiwa secara lugas. kesabaran, keteladanan, kecepatan, dan kedisiplinan terlatih selama menjadi jurnalis. dengan rutinitas seperti itu, dibutuhkan fisik yang memadai dan strategi komunikasi yang baik dengan siapapun.

Hikmah lain ynag dipetik adalah jaringan komunikasi yang luas. selama saya menjadi jurnalis, karakter sumber berita sangat beragam sehingga harus bisa dipahami sekaligus pelajaran yang menarik. ternyata, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda di dalam memandang sebuah realitas. peristiwa politik, misalnya bisa dilihat dari beragam sudut sesuai dengan subyektifitas seseorang. untuk itu, seorang jurnalis harus dapat memperlakukan sumber berita dengan proporsional agar faktanya berimbang, tidak njomplang. saya sendiri belajar berbuat adil dari cara menampilkan nara sumber di koran.

Relasi yang terjalin dengan baik dengan berbagai kalangan mengantarkan saya menjadi pengajar diSTAIN Jember sebagai dosen luar biasa sejak 2004. saat itu, tawaran dari kampus Mangli ini tak bisa saya tolak. kebetulan mata kuliah yang ditawarkan adalah "Teknik Wawancara dan Menulis Berita" sehingga masih nyambung atau sesuai denagn kemampuan sebagai jurnalis. karena bersifat praktik, ilmu kewartawanan yang saya dapatkan dari pelatihan di Jawa Pos dan pengalaman jurnalistik di lapangan saya sampaikan di kampus.

Pengalaman sebagai jurnalis dan dosen luar biasa ini memberikan hikmah tersendiri bagi saya. sebagai dosen, saya dituntut memahami lebih mendalam ilmu komunikasi, terutama komunikasi massa. selama bertahun-tahun, "dua profesi" itu saya lakoni sesuai dengan kemampuan. setidaknya memahami teori-teori komunikasi massa. ya, belajarnya harus sedikit ekstra.

Pernah suatu ketika saya menghadapi pilihan sulit antara bertahan sebagai jurnalis atau menerima dosen sebagai profesi yang baru. bagi saya, waktu 10 tahun sudah cukup untuk menimba pengalaman lapangan jurnalistik. dan, selama mengajar, komunikasi dengan institusi media massa tidak terputus. setidaknya, hubungan itu terus terjalin karena berbagai kegiatan kampus, misalnya PPL juga ditempatkan di perusahaan media, baik media cetak, media elektronik, maupun media online. hubungan media massa dengan  kampus, menurut saya, tidak boleh putus. bisa saling besinergi, bisa saling mengontrol, bisa saling menyampaikan pesan kebaikan dengan caranya masing-masing.

Konsekuensi menjadi yang memadai sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen bahwa dosen wajib berkependidikan minimal S2. Berbekal tekad pula, S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Dr Soetomo Surabaya dapat saya selesaikan meski harus menguras energi, pikiran, dan waktu. saya selalu diingatkan oleh abah ketika beliau masih hidup agar mencari ilmu itu diniati ibadah biar nggak sia-sia ya, kalau mau jadi dosen, ya bismillah. berusaha yang keras dan berdo'a yang kuat, itu kata kuncinya. (ras)

SUMBER : JP-RJ- 30 MEI 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KREATIFITAS WARGA DESA SIDOMEKAR UBAH PASAR KUMUH JADI MURAL

Ini Strategi Untuk Memikat Pembeli Datang ke Sini Awalnya, hanya sebuah pasar Krempyeng yang kumuh di dalam gang. namun, sejak April pem...