Anak Gangguan Jiwa, Andalkan Makan dari Tetangga
Menjalani masa tua, tentu sangat mengharapkan mendapatkan kasih sayang dari anak cucunya. Namun, nasib yang tidak beruntung dialami Munira, 80, warga Desa Kemuning lor, Kecamatan Arjasa. Kondisinya sudah lemah dan pandangan yang sama sekali tidak bisa melihat. Di lain pihak, anak lelaki yang diharapkan jadi tulang punggung, malah mengalami gangguan jiwa sejak 10 tahun lalu.
RANGGA MAHARDIKA, Arjasa
UNTUK mencapai rumah Munira tim Jawa Pos Radar Jember tidak terlalu kesulitan. Rumahnya yang ada di Desa Kemuninglor, Kecamatan Arjasa itu berada di pinggir jalan menuju ke tempat wisata Rembangan, tepatnya berada di samping warung milik Politeknik Jember di kawasan tersebut.
Namun, kondisi ironis terlihat dari rumah yang menempel dengan warung yang begitu megah.
Tim dibarengi oleh Jumaliyah tetangga Munira, mendatangi rumah itu. Rumah yang berada di balik rerimbun kayu besar di pinggir jalan tersebut kondisinya sangat mengenaskan. Dinding depan memang tembok, namun dalamnya hanya bambu. Rumah ini juga sudah reyot, terlihat dari sejumlah atap yang lapuk.
Di dalam ruangan pun terlihat ada tiang penyangganya. Tetapi, dengan luas ruangan yang terbagi tiga sekat ini, hanya ada dua penerangan lampu yang redup. selain itu, ruangan cukup gelap karen atidak terlihat jendela sama sekali, sehingga sangat pengap dan gelap meskipun saat itu waktu sudah menunjukan sekitar pukul 11.00.
Di salah satu ruang tengah itulah, seorang nenek hanya bisa terdiam diri di atas kasur yang kumuh. Bahkan, untuk bergerak di ranjang itu saja sulit. Sebab di kasur itu banyak tumpukan kain dan barang lainnya yang berserakan. Bahkan, sejumlah alat makan pun terlihat di samping sang nenek.
"Setiyah Maghrib ta, mak peteng yeh (sekarang apa sudah Maghrib, kok gelap ya)," suara serak berat dari Munira, bertanya kepada Jumaliyah yang mendatanginya.
"Enjek, setiyah bedug (bukan, sekarang zuhur)," tutur Jumaliyah.
Menurut keterangan Jumaliyah, memang nenek Munira sudah tidak bisa melihat dan tidak bisa membedakan hari sudah gelap atau siang hari. Apalagi, nenek Munira ini memang sudah tidak bisa bergerak (pindah) dari kasur.
Menurut Jumaliyah, sebenarnya Munira dulunya orang yang cukup berada. Dirinya saat muda berjualan ke sejumlah pasar di Jember. "Jualan sayur dan sapu lidi ke pasar. Kadang ke pasar Tanjung di Jember," terangnya. Namun, lama-kelamaan kondisinya terus menurun karena termakan usia, bahkan, kondisinya diperburuk dengan penglihatan yang menurun, hingga kemudian tidak bisa melihat sama sekalil, Nenek Munira pun tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari.
Saat ditanyakan bagaimana dengan kehidupan sehari-harinya, ternyata Munira sebenarnya tinggal bersama anak lelakinya, Ahmad Syamsuri. Namun, sejak 10 tahun lalu, Syamsuri mengalami gangguan jiwa, sehingga tidak bisa melakukan aktifitas secara normal.
Padahal, sang anak ini sebelumnya termasuk anak yang rajin. "Anaknya depresi setelah tidak jasi menikah," tuturnya.
Meskipun mengalami depresi, namun sang anak ini cukup sayang pada ibunya yang sudah renta ini. Kadang Syamsuri juga memasak untuk mereka. Untuk buang air besar (BAB) dan sejenisnya, harus digendong dan di angkat oleh Syamsuri ke kamar mandi.
Memang diakuinya kehidupan keluarga ini sangat mengenaskan. Bahkan, lebih banyak bergantung kepada uluran tangan tetangganya. "Ya setiap hari mengandalkan bantuan dari para tetangga," jelasnya. Sehingga, bisa dikatakan hidupnya bergantung pada bantuan dari orang lain.
Terkait dengan kondisi Nenek Munira yang buta dan lumouh, serta Syamsuri yang mengalami gangguan jiwa, Jumaliyah mengakui itu. Namun, dirinya tidak tahu apakah sebelumnya sudah pernah dibawa ke palayanan kesehatan atau tidak. Sebab, dirinya juga memiliki kesibukan sendiri.
Sementara Syamsuri, anaknya, yang kebetulan ada di rumah, tampak melantur saat ditanya soal kehidupannya. Namun, intinya dia sangat mencintai dan mau merawat ibunya.
"Kalau makan, ya diberi makan. Sayaa juga masak, ayo mari makan," ucap Syamsuri. Dirinya menjelaskan bahwa memang berat merawat sang ibu sendirian. Syamsuri mengaku repot ketika sang ibu buang air besar atau buang air kecil, kerena harus dibopong.
"Paling sulit kalau sakit, Nggak mau diam, selalu berontak. Yang pegang tidak kuat," jelasnya dengan berbata-bata. Namun, saat hendak menggali informasi lebih dalam, pembicaraan Syamsuri semakin tidak jelas. (ram/mgc/hdi)
SUMBER : JP-RJ 1MEI 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar